Bahan renungan firman Tuhan tersedia dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.(The devotional material is available in Indonesian and English.)
Shalom, saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Hari ini kita akan bersama-sama merenungkan satu topik yang sangat penting dan relevan: mengapa orang bisa menyimpang dari jalan Tuhan, dan bagaimana seharusnya kita merespons sebagai anak-anak Allah. Kita tidak hanya akan melihat dari kacamata rohani, tapi juga menilik sedikit dari perspektif psikologi perkembangan untuk membantu kita memahami penyebab di balik perilaku manusia.
Sering kali, ketika melihat seseorang jatuh dalam dosa atau hidupnya menjauh dari Tuhan, kita terlalu cepat menghakimi: “Pasti karena dia kurang berdoa,” atau “Kurang didikan rohani.” Tapi mari kita gali lebih dalam. Setiap perilaku itu punya akar, dan akar itu bisa sangat kompleks. Dalam Yeremia 17:9 tertulis, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” Ayat ini menunjukkan bahwa penyimpangan sering kali berasal dari kedalaman hati manusia yang rusak karena dosa. Tapi di balik itu, ada proses panjang yang perlu kita pahami.
Dalam dunia psikologi, khususnya teori perkembangan Erik Erikson, ada tahapan-tahapan kehidupan manusia yang menentukan bagaimana seseorang memandang diri sendiri dan dunia. Misalnya, pada masa remaja (usia 12–18 tahun), individu sedang mencari jati diri (identity vs role confusion). Jika mereka tidak menemukan identitas yang sehat—baik karena kurang dukungan dari keluarga, lingkungan, atau tidak merasa diterima—mereka bisa mengalami kebingungan dan akhirnya mencari pengakuan di tempat yang salah. Di sinilah iblis sering menyusup, menawarkan identitas palsu melalui hal-hal duniawi.
Tapi kabar baiknya: Firman Tuhan tidak berhenti hanya pada pengenalan akar masalah. Ia juga memberi solusi yang sejati. Dalam Mazmur 119:9 dikatakan, “Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.” Jadi, Firman Allah bukan cuma jawaban rohani, tapi juga jalan pembaruan identitas yang rusak. Tuhan tahu betapa sulitnya manusia menghadapi perkembangan hidupnya, karena itu Dia memberikan Firman sebagai fondasi yang kokoh.
Mari kita ingat juga kisah anak yang hilang (Lukas 15:11–32). Anak bungsu memilih jalan yang menyimpang karena ia merasa bisa menemukan kepuasan di luar rumah bapanya. Namun akar dari penyimpangan itu bukan sekadar keinginan berpetualang—melainkan karena ia belum benar-benar memahami kasih dan identitasnya sebagai anak. Tapi yang luar biasa adalah respons sang Bapa: bukan penghakiman, melainkan pelukan penuh kasih. Ini menunjukkan kepada kita bahwa solusi Alkitabiah terhadap penyimpangan adalah pemulihan melalui kasih dan penerimaan.
Dalam pelayanan kita sebagai penginjil, guru, orang tua, atau sahabat, kita dipanggil bukan hanya untuk menunjuk kesalahan, tapi membantu orang lain menggali akar dari pergumulan mereka, dan membawa mereka kembali kepada Sang Sumber Hidup—Yesus Kristus. Sebagaimana tertulis dalam Galatia 6:1, “Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut.”
Jadi, mari kita menjadi pribadi yang tidak hanya cepat bereaksi, tapi juga mau refleksi. Menggali akar, bukan sekadar mencabut daun yang terlihat. Dan yang terpenting, mengarahkan hati setiap orang kembali pada kebenaran Firman dan kasih Allah yang memulihkan.
Tuhan memberkati.
[ENGLISH VERSION]
Root of the Problem: Uncovering the Causes of Deviation and Seeking Biblical Solutions
Shalom, dear brothers and sisters in Christ. Today, we’ll reflect on a very important and relevant topic: why do people go astray from God’s path, and how should we respond as children of God? We’ll not only explore this from a spiritual perspective, but also take a glimpse through the lens of developmental psychology to help us understand the deeper causes behind human behavior.
Often, when we see someone fall into sin or drift away from God, we are quick to judge: “They probably don’t pray enough,” or “They lack proper spiritual upbringing.” But let’s dig deeper. Every behavior has a root, and that root can be very complex. In Jeremiah 17:9, it is written, “The heart is deceitful above all things and beyond cure. Who can understand it?” This verse shows that deviation often stems from the depths of the human heart, corrupted by sin. But behind that, there is often a long process that we need to understand.
In the field of psychology—especially Erik Erikson’s theory of human development—there are stages in life that shape how a person sees themselves and the world. For example, during adolescence (ages 12–18), individuals are searching for identity (identity vs. role confusion). If they don’t find a healthy sense of self—whether due to lack of family support, an unwelcoming environment, or feeling rejected—they can end up confused and seek validation in the wrong places. This is often where the enemy sneaks in, offering false identities through worldly pleasures.
But here’s the good news: God’s Word doesn’t stop at just exposing the problem. It also offers the ultimate solution. Psalm 119:9 says, “How can a young person stay on the path of purity? By living according to your word.” God’s Word is not just a spiritual answer—it’s the true path to renewed identity. The Lord knows how difficult life’s developmental stages can be, which is why He gave us His Word as a solid foundation.
Let’s also remember the story of the prodigal son (Luke 15:11–32). The younger son strayed not simply because he wanted adventure, but because he didn’t truly understand the love and identity he had as a son. But what’s amazing is the father’s response—not condemnation, but an embrace full of love. This shows us that the Biblical solution to deviation is restoration through love and acceptance.
In our ministries—as evangelists, teachers, parents, or friends—we are called not only to point out faults, but to help others uncover the roots of their struggles and lead them back to the Source of Life—Jesus Christ. As Galatians 6:1 says, “Brothers and sisters, if someone is caught in a sin, you who live by the Spirit should restore that person gently.”
So, let’s be people who don’t just react quickly, but are also willing to reflect deeply. Let’s dig to the root, not just pluck at visible leaves. And most importantly, let us lead every heart back to the truth of God’s Word and His restoring love.
God bless you.
Shalom saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Hari ini kita akan membahas satu tema yang menyentuh hati dan sangat dekat dengan kehidupan banyak orang tua, guru, pemimpin rohani, bahkan remaja dan pemuda sendiri—yaitu tentang anak yang tersesat dan bagaimana Tuhan rindu memulihkan mereka. Tema ini bukan hanya tentang mereka yang secara fisik menjauh dari rumah, tapi juga mereka yang secara rohani dan emosional menjauh dari kasih Bapa.
Dalam Lukas 15:11–32, kita membaca kisah terkenal tentang anak yang hilang. Anak bungsu meminta warisan dari ayahnya dan pergi ke negeri jauh, menghambur-hamburkan hartanya dalam kehidupan yang sia-sia. Saat dia kehabisan segalanya, barulah ia sadar dan berkata dalam hatinya, “Aku akan bangkit dan pergi kepada ayahku.” Tapi yang paling menyentuh dari cerita ini adalah respons sang ayah. Ia tidak menghakimi, tidak mempermalukan, tapi justru berlari menyambut anaknya dan memeluknya dengan kasih. Inilah gambaran hati Allah terhadap setiap anak yang tersesat.
Dari sudut pandang psikologi perkembangan, khususnya dari teori Erik Erikson, anak dan remaja melalui tahap-tahap yang penuh tantangan. Di masa remaja (identity vs. role confusion), mereka sedang membangun identitas diri. Jika tidak mendapatkan bimbingan, kasih sayang, atau penerimaan yang cukup, mereka cenderung mencari pengakuan dari dunia luar—bahkan dari hal-hal yang bisa membahayakan hidup mereka. Itulah sebabnya banyak remaja hari ini tampak "tersesat", padahal sesungguhnya mereka sedang berteriak minta arah dan kasih.
Namun, kasih karunia Allah itu luar biasa. Dalam Yoel 2:25 Tuhan berfirman, “Aku akan memulihkan kepadamu tahun-tahun yang hasilnya dimakan habis oleh belalang.” Artinya, tak peduli sejauh apa seseorang telah tersesat, tak peduli seberapa rusak masa lalunya, Tuhan sanggup memulihkan. Bahkan tahun-tahun yang tampaknya sia-sia bisa Tuhan ubahkan menjadi kesaksian yang penuh kuasa. Kita percaya pada Tuhan yang bukan hanya memberi kesempatan kedua, tapi kesempatan yang baru setiap pagi (Ratapan 3:22–23).
Sebagai orang percaya, tugas kita bukan hanya mengarahkan tapi juga merangkul. Seorang anak yang tersesat tidak selalu butuh ceramah—kadang mereka lebih butuh pelukan. Mereka butuh sosok yang percaya bahwa mereka bisa kembali. Dalam Galatia 6:1 kita diingatkan, “Saudara-saudara, kalaupun seseorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut.” Lihat kata terakhirnya: “lemah lembut.” Bukan keras, bukan memaksa, tapi memulihkan dengan kasih.
Restorasi bukan berarti membiarkan kesalahan, tapi mengangkat mereka dari kejatuhan dan menuntun mereka kembali ke pelukan Bapa. Kita percaya bahwa di balik setiap anak yang tersesat, ada potensi besar yang sedang menunggu untuk ditebus. Mungkin mereka tidak sesuai harapan kita hari ini, tapi Tuhan sedang bekerja dalam diam.
Jadi mari kita menjadi perpanjangan tangan kasih Bapa. Kita mungkin tidak bisa mengubah hati seseorang, tapi kita bisa menciptakan ruang aman bagi mereka untuk kembali. Ketika dunia menyerah pada mereka, mari kita tetap percaya bahwa tidak ada yang terlalu jauh bagi kasih Kristus.
Tuhan memberkati kita semua untuk terus menjadi agen pemulihan bagi generasi ini.
[ENGLISH VERSION]
Restoration and Healing: Giving a Second Chance to the Lost Child
Shalom, dear brothers and sisters in Christ. Today we will reflect on a theme that is both touching and deeply relevant in many of our lives—as parents, teachers, spiritual leaders, or even as young people ourselves. It’s about the lost child, and how God longs to restore them. This isn’t just about those who have physically walked away from home, but also about those who have spiritually and emotionally drifted from the Father’s love.
In Luke 15:11–32, we read the famous parable of the prodigal son. The younger son demanded his inheritance and left for a distant land, wasting everything in reckless living. When he hit rock bottom, he came to his senses and said, “I will arise and go to my father.” But the most moving part of the story is the father's response. He didn’t judge or shame his son—instead, he ran to him, embraced him, and welcomed him back with love. This is the heart of God toward every lost child.
From the perspective of developmental psychology—especially Erik Erikson’s theory—children and teenagers go through challenging phases. During adolescence (identity vs. role confusion), they’re trying to discover who they are. Without enough guidance, love, or affirmation, they often seek approval from the outside world—even in ways that can harm them. That’s why many youth today seem “lost.” But in reality, they’re often crying out for direction and love.
Yet the grace of God is amazing. In Joel 2:25, God says, “I will restore to you the years that the swarming locust has eaten.” This means no matter how far someone has gone, no matter how broken their past, God can still restore. Even the years that seemed wasted can become powerful testimonies. We believe in a God who not only gives second chances—but new mercies every morning (Lamentations 3:22–23).
As believers, our role is not just to correct, but to embrace. A lost child doesn’t always need a lecture—sometimes, they need a hug. They need someone who still believes they can return. Galatians 6:1 reminds us, “Brothers and sisters, if someone is caught in a sin, you who live by the Spirit should restore that person gently.” Note that last word—“gently.” Not harshly, not forcefully, but with love and grace.
Restoration doesn’t mean ignoring mistakes. It means lifting someone from their fall and leading them back to the Father’s embrace. We believe that behind every lost child is great potential waiting to be redeemed. They may not be what we hoped for right now, but God is working—even in the silence.
So let’s be the extended hands of the Father’s love. We may not be able to change someone’s heart, but we can create a safe space for them to return. When the world gives up on them, may we still believe that no one is too far gone for Christ’s love.
May God bless us to be instruments of restoration for this generation.
Shalom saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Di bulan ini, banyak anak-anak kita sedang berada di masa-masa yang cukup menegangkan—ada yang menghadapi ujian akhir semester, ada yang sedang mempersiapkan diri untuk naik ke jenjang sekolah yang lebih tinggi, bahkan ada yang sedang bersiap masuk kuliah atau mencari pekerjaan. Sebagai orang tua, guru, atau pembimbing rohani, ini adalah momen penting untuk kembali merenungkan: bagaimana seharusnya kita mempersiapkan masa depan anak-anak melalui pendidikan?
Alkitab memberikan dasar yang kuat tentang pentingnya pendidikan dan pembentukan karakter sejak dini. Dalam Amsal 22:6 tertulis, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari jalan itu.” Ayat ini bukan hanya sekadar perintah mendidik, tetapi mengandung prinsip jangka panjang—bahwa apa yang ditanamkan hari ini akan berbuah di kemudian hari.
Pendidikan bukan hanya soal nilai akademik atau prestasi sekolah, tetapi juga soal karakter, iman, dan kebijaksanaan hidup. Kita bisa belajar dari kisah Daniel dan kawan-kawannya di kitab Daniel pasal 1. Mereka adalah anak-anak muda Israel yang dibawa ke Babel dan dididik dalam sistem kerajaan asing. Namun yang menarik, mereka bukan hanya cerdas dalam pengetahuan dan bahasa, tetapi juga memiliki integritas rohani. Daniel 1:17 mengatakan, “Kepada keempat orang muda itu Allah memberikan pengetahuan dan kepandaian dalam segala tulisan dan hikmat, sedang kepada Daniel juga diberikan pengertian tentang berbagai penglihatan dan mimpi.” Mereka adalah contoh dari hasil pendidikan yang tidak hanya berorientasi dunia, tetapi juga berakar dalam iman kepada Tuhan.
Dalam teori psikologi perkembangan, seperti yang dikemukakan oleh Jean Piaget, anak-anak berkembang melalui tahap-tahap kognitif tertentu. Mereka belajar secara bertahap, dari konkret ke abstrak. Itulah sebabnya pendekatan pendidikan harus disesuaikan dengan usia dan tahap perkembangan mereka. Sebaliknya, dalam teori Vygotsky, peran lingkungan sosial sangat penting—anak-anak belajar dengan lebih efektif ketika didampingi oleh orang yang lebih ahli (guru, orang tua, pembimbing). Ini mengingatkan kita bahwa peran kita sebagai orang dewasa bukan hanya sebagai penyedia informasi, tetapi juga sebagai panutan dan pembimbing rohani.
Sebagai orang percaya, mari kita jangan hanya fokus pada keberhasilan duniawi anak—nilai tinggi, masuk sekolah favorit, atau mendapat pekerjaan baik—tetapi juga arahkan mereka untuk mengenal panggilan hidup dari Tuhan. Mazmur 119:105 berkata, “Firman-Mu adalah pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” Pendidikan sejati adalah yang membawa anak berjalan dalam terang Firman Tuhan, sehingga dalam setiap keputusan hidup, mereka tidak tersesat.
Ketika anak-anak kita merasa cemas akan ujian, atau bingung memilih jurusan atau karier, mari kita bimbing mereka dengan doa dan Firman. Ajak mereka belajar memercayai Tuhan dalam setiap langkah. Amsal 3:5–6 mengingatkan, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”
Masa depan memang penuh ketidakpastian, tapi ketika fondasinya dibangun di atas Kristus, kita tidak perlu takut. Tugas kita adalah menanam, menyiram, dan memupuk, tapi Tuhanlah yang memberi pertumbuhan (1 Korintus 3:6). Maka dari itu, mari kita jadikan pendidikan bukan sekadar proses duniawi, tetapi sebuah perjalanan iman yang menyiapkan anak-anak kita menjadi terang dan garam di tengah dunia.
Tuhan memberkati setiap orang tua, guru, dan anak yang sedang berjalan dalam musim ini. Tetap semangat, karena masa depan yang penuh harapan sedang dipersiapkan oleh Tuhan sendiri.
[ENGLISH VERSION]
Preparing Our Children’s Future Through Education: A Biblical and Practical Perspective
Shalom, dear brothers and sisters in Christ. This month, many of our children are going through a stressful time—some are facing their final semester exams, others are preparing to move up to the next level of school, and some are even getting ready for college or entering the workforce. As parents, teachers, or spiritual mentors, this is an important moment to reflect: how should we prepare our children’s future through education?
The Bible gives us a strong foundation about the importance of education and character formation from an early age. Proverbs 22:6 says, “Train up a child in the way he should go, and when he is old he will not depart from it.” This verse is not just a command to teach, but contains a long-term principle—that what we plant today will bear fruit later.
Education is not just about academic grades or school achievements, but also about character, faith, and wisdom for life. We can learn from the story of Daniel and his friends in the book of Daniel chapter 1. They were young Israelites taken to Babylon and educated in a foreign kingdom’s system. What’s remarkable is that they were not only knowledgeable and skilled in language but also maintained spiritual integrity. Daniel 1:17 says, “To these four young men God gave knowledge and understanding of all kinds of literature and learning. And Daniel could understand visions and dreams of all kinds.” They exemplify education that is not only worldly but also deeply rooted in faith in God.
In developmental psychology, as proposed by Jean Piaget, children grow through certain cognitive stages. They learn gradually, from concrete to abstract. That’s why educational approaches must be adapted to their age and development stage. On the other hand, Vygotsky’s theory emphasizes the importance of social environment—children learn more effectively when accompanied by more knowledgeable others (teachers, parents, mentors). This reminds us that as adults, our role is not just to provide information but to be role models and spiritual guides.
As believers, let us not only focus on children’s worldly success—high grades, entering favorite schools, or landing good jobs—but also guide them to know God’s calling for their lives. Psalm 119:105 says, “Your word is a lamp to my feet and a light to my path.” True education leads children to walk in the light of God’s Word so that in every life decision, they will not go astray.
When our children feel anxious about exams or confused about choosing majors or careers, let us guide them with prayer and God’s Word. Encourage them to trust God in every step. Proverbs 3:5–6 reminds us, “Trust in the LORD with all your heart and lean not on your own understanding; in all your ways submit to him, and he will make your paths straight.”
The future is indeed full of uncertainty, but when its foundation is built on Christ, we have no need to fear. Our task is to plant, water, and nurture, but God gives the growth (1 Corinthians 3:6). Therefore, let us make education not just a worldly process, but a journey of faith preparing our children to be the salt and light in this world.
May God bless every parent, teacher, and child walking through this season. Stay strong, for a hopeful future is being prepared by God Himself.
Shalom saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Keluarga adalah fondasi utama dalam kehidupan setiap anak. Bagaimana kita mendidik anak di dalam keluarga bukan hanya menentukan masa depan mereka, tapi juga memengaruhi generasi yang akan datang. Maka dari itu, sebagai orang tua, pendidik, dan pemimpin rohani, kita perlu menguatkan keluarga agar mampu mendidik anak dengan kasih dan hikmat.
Alkitab mengajarkan pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Dalam Efesus 6:4 tertulis, “Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.” Ayat ini mengingatkan kita bahwa mendidik bukan hanya soal disiplin, tetapi juga soal membimbing dengan kasih dan pengertian. Anak-anak bukan mesin yang bisa kita atur sekehendak kita, melainkan mereka adalah anugerah Tuhan yang harus kita bawa dalam doa dan perhatian.
Kisah Yesus sebagai Anak di keluarga Yusuf dan Maria juga memberikan gambaran yang indah tentang suasana keluarga yang sehat. Lukas 2:52 mencatat, “Yesus bertambah besar dan bertambah hikmat serta kasih karunia di hadapan Allah dan manusia.” Ini menunjukkan bahwa di tengah keluarga yang penuh kasih dan bimbingan, seorang anak bisa tumbuh tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara rohani dan sosial.
Dalam teori psikologi perkembangan, misalnya teori attachment (pembentukan ikatan emosional) yang dikemukakan oleh John Bowlby, anak-anak yang merasa aman dan dicintai dalam keluarga cenderung berkembang lebih baik secara emosional dan mental. Ini sangat penting untuk pembentukan karakter dan kepercayaan diri anak. Dalam pendidikan, teori konstruktivisme juga mengajarkan bahwa anak belajar paling baik dalam lingkungan yang suportif dan penuh stimulasi positif—yang tentu saja dimulai dari keluarga.
Namun, menguatkan keluarga dalam mendidik anak bukan berarti sempurna tanpa kesulitan. Ada tantangan zaman sekarang yang harus dihadapi, mulai dari pengaruh teknologi, tekanan teman sebaya, hingga tantangan ekonomi. Di sini kita diingatkan oleh Amsal 3:5-6, “Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.” Percaya dan bergantung pada Tuhan menjadi kekuatan utama keluarga.
Sebagai keluarga Kristen, mari kita jadikan rumah kita sebagai “gereja kecil” yang penuh dengan doa, firman, dan kasih. Luangkan waktu untuk berkomunikasi dengan anak-anak, dengarkan pergumulan mereka, dan bimbing mereka ke dalam kebenaran Tuhan. Jangan lupa juga pentingnya memberi contoh yang baik karena anak belajar banyak dari apa yang kita lakukan, bukan hanya dari apa yang kita katakan.
Menguatkan keluarga dalam mendidik anak adalah sebuah panggilan dan tugas yang mulia. Mari kita berdoa agar Tuhan memberikan hikmat, kesabaran, dan kasih yang tak berkesudahan dalam mendidik generasi masa depan. Dengan fondasi keluarga yang kuat, kita percaya anak-anak kita akan tumbuh menjadi pribadi yang takut akan Tuhan dan berpengaruh baik di dunia.
Tuhan memberkati keluarga kita semua.
[ENGLISH VERSION]
Strengthening the Family in Raising Children
Shalom, dear brothers and sisters in Christ. The family is the primary foundation in every child’s life. How we raise children within the family not only shapes their future but also influences the generations to come. Therefore, as parents, educators, and spiritual leaders, we need to strengthen families so they can raise children with love and wisdom.
The Bible teaches us the important role of parents in educating their children. Ephesians 6:4 says, “Fathers, do not provoke your children to anger, but bring them up in the discipline and instruction of the Lord.” This verse reminds us that raising children is not only about discipline but also about guiding them with love and understanding. Children are not machines to be controlled at will but are God’s gifts to be carried in prayer and care.
The story of Jesus as a child in the family of Joseph and Mary also gives us a beautiful picture of a healthy family atmosphere. Luke 2:52 records, “And Jesus increased in wisdom and stature, and in favor with God and man.” This shows that in a family full of love and guidance, a child can grow not only physically but also spiritually and socially.
In developmental psychology, for example, attachment theory by John Bowlby teaches that children who feel safe and loved within the family tend to develop better emotionally and mentally. This is very important for character building and self-confidence. In education, constructivist theory also teaches that children learn best in a supportive environment filled with positive stimulation—which certainly begins at home.
However, strengthening the family in raising children does not mean perfection without challenges. There are modern challenges we must face, from the influence of technology, peer pressure, to economic difficulties. Here we are reminded by Proverbs 3:5-6, “Trust in the LORD with all your heart, and lean not on your own understanding; in all your ways submit to him, and he will make your paths straight.” Trusting and relying on God becomes the family’s main strength.
As Christian families, let us make our homes a “little church” full of prayer, God’s Word, and love. Take time to communicate with children, listen to their struggles, and guide them into God’s truth. Also, don’t forget the importance of giving a good example because children learn a lot from what we do, not just from what we say.
Strengthening the family in raising children is a noble calling and task. Let us pray that God gives wisdom, patience, and endless love in raising the future generation. With a strong family foundation, we believe our children will grow into people who fear God and make a positive impact in the world.
May God bless all our families.
Shalom saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Saat ini kita hidup di zaman yang penuh dengan kemajuan teknologi yang luar biasa, salah satunya adalah perkembangan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI). AI mulai merambah hampir semua aspek kehidupan kita—dari cara kita bekerja, belajar, berkomunikasi, bahkan sampai cara kita beribadah dan melayani. Sebagai orang percaya, bagaimana kita menyikapi perkembangan ini? Apakah kita takut, atau justru bisa memanfaatkannya dengan bijak?
Alkitab mengajarkan kita untuk selalu bijaksana dan waspada dalam menghadapi perubahan zaman. Dalam 1 Tesalonika 5:21-22, Paulus menasihati kita, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik. Jauhkan dirimu dari segala rupa kejahatan.” Prinsip ini mengingatkan kita untuk tidak langsung menolak sesuatu yang baru, tetapi kita harus mengujinya dan memilah mana yang baik dan mana yang tidak.
Kita juga bisa belajar dari kisah Salomo, yang diberi hikmat luar biasa oleh Tuhan untuk memimpin bangsa Israel. Dalam 1 Raja-Raja 3:9, Salomo berdoa, “Berikanlah kepada hamba-Mu hati yang mengerti untuk mengadili umat-Mu dan membedakan antara yang baik dan yang jahat.” Hikmat ini sangat relevan ketika kita menghadapi teknologi baru seperti AI. Kita perlu berdoa agar diberikan hikmat dan pengertian untuk menggunakan teknologi ini secara bertanggung jawab dan memuliakan Tuhan.
Dari sudut pandang psikologi, perkembangan teknologi juga membawa dampak pada cara kita berpikir dan belajar. Teori kognitif menyebutkan bahwa manusia belajar melalui interaksi dengan lingkungan. AI dapat menjadi alat bantu pendidikan yang luar biasa, misalnya melalui pembelajaran yang personal dan adaptif. Namun, kita juga harus waspada agar teknologi tidak membuat kita kehilangan kemampuan berpikir kritis dan empati yang sangat penting dalam hubungan sosial.
Dalam pendidikan, teori belajar sosial dari Albert Bandura mengingatkan kita bahwa manusia belajar juga melalui meniru dan berinteraksi dengan model. Maka dalam era AI, orang tua, guru, dan pendeta memiliki peran penting sebagai teladan manusia yang penuh kasih, bukan digantikan oleh teknologi.
Menghadapi perkembangan AI bukan berarti menolak kemajuan, tapi bagaimana kita mengelolanya agar tetap dalam batas kebenaran dan kasih. Efesus 5:15-16 mengingatkan, “Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, jangan seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, sebab hari-hari ini adalah jahat.” Kita dipanggil untuk bijak dan arif dalam menggunakan setiap kesempatan, termasuk teknologi.
Mari kita terus bergantung pada Tuhan, meminta hikmat dan kekuatan untuk menjadi terang di tengah kemajuan teknologi ini. Jangan sampai teknologi menggantikan peran kasih dan iman kita, melainkan jadikan teknologi sebagai alat untuk memperluas kerajaan Allah dan memberkati sesama.
Tuhan memberkati kita semua untuk menjadi umat yang bijaksana dan beriman di zaman ini.
[ENGLISH VERSION]
Facing the Development of AI: Being Wise and Faithful in the Age of Technology
Shalom, dear brothers and sisters in Christ. We live in an era of incredible technological advances, one of which is the development of Artificial Intelligence (AI). AI is entering almost every aspect of our lives—from how we work, learn, communicate, to how we worship and serve. As believers, how should we respond to this development? Should we be afraid, or can we use it wisely?
The Bible teaches us to always be wise and vigilant in facing the changes of the times. In 1 Thessalonians 5:21-22, Paul advises us, “Test everything; hold fast to what is good. Abstain from every form of evil.” This principle reminds us not to reject something new outright but to test and discern what is good and what is not.
We can also learn from the story of Solomon, who was granted extraordinary wisdom by God to lead the nation of Israel. In 1 Kings 3:9, Solomon prayed, “Give your servant a discerning heart to govern your people and to distinguish between right and wrong.” This wisdom is very relevant when we face new technologies like AI. We need to pray for wisdom and understanding to use this technology responsibly and to glorify God.
From a psychological perspective, technological developments also impact how we think and learn. Cognitive theory explains that humans learn through interaction with their environment. AI can be an excellent educational tool, for example, through personalized and adaptive learning. However, we must also be careful that technology does not cause us to lose critical thinking skills and empathy, which are crucial in social relationships.
In education, Albert Bandura’s social learning theory reminds us that people also learn by imitating and interacting with models. Therefore, in the AI era, parents, teachers, and pastors have an important role as loving human examples, not to be replaced by technology.
Facing the development of AI does not mean rejecting progress but managing it within the bounds of truth and love. Ephesians 5:15-16 reminds us, “Be very careful, then, how you live—not as unwise but as wise, making the most of every opportunity, because the days are evil.” We are called to be wise and prudent in using every opportunity, including technology.
Let us continue to depend on God, asking for wisdom and strength to be a light amid these technological advances. Let technology never replace our role of love and faith, but let it be a tool to expand God’s kingdom and bless others.
May God bless us all to be wise and faithful people in this age.
Shalom saudara-saudari yang dikasihi dalam Kristus. Kita hidup di zaman yang penuh tantangan, terutama dalam bidang ekonomi dan bisnis global. Kondisi saat ini semakin tidak pasti, apalagi dengan adanya perang dagang dan tarif ekonomi yang ditetapkan oleh Amerika Serikat beberapa waktu lalu, yang menyebabkan tatanan ekonomi dan bisnis dunia menjadi kacau dan tidak stabil. Banyak orang merasa khawatir dan cemas akan masa depan finansial dan peluang usaha mereka. Sebagai umat percaya, bagaimana kita harus bersikap dan bertindak?
Alkitab mengajarkan kita untuk tetap tenang dan percaya pada Tuhan, walaupun dunia di sekitar kita sedang bergejolak. Dalam Mazmur 46:2-3, tertulis, “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung bergoncang di dalam laut.” Ayat ini mengingatkan kita bahwa meskipun kondisi ekonomi dan bisnis dunia berguncang, kita tetap memiliki Tuhan yang menjadi sandaran dan perlindungan.
Kisah Yusuf dalam Kitab Kejadian juga memberikan pelajaran berharga. Ketika terjadi kelaparan besar di seluruh dunia, Yusuf yang sebelumnya dipenjara, justru dipakai Tuhan untuk mengatur persediaan pangan Mesir dan menyelamatkan banyak nyawa (Kejadian 41). Yusuf mampu melihat situasi krisis sebagai kesempatan untuk melayani dan bertindak dengan bijak. Ini mengajarkan kita pentingnya kesiapan, perencanaan, dan sikap percaya dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Dari sisi teori ekonomi, ketidakpastian dan perang dagang biasanya menyebabkan gangguan pada rantai pasok, fluktuasi harga, dan ketidakpastian investasi. Namun, teori manajemen risiko mengajarkan bahwa dengan strategi diversifikasi dan perencanaan yang matang, bisnis dapat bertahan bahkan tumbuh di tengah krisis. Sebagai umat Tuhan, kita harus mengombinasikan hikmat duniawi dengan iman dan doa.
Dalam Lukas 12:15, Yesus mengingatkan, “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala jenis keserakahan; sebab hidup seseorang tidaklah tergantung dari kekayaannya, sekalipun ia berkelimpahan.” Ayat ini mengajak kita untuk tidak terlalu terikat pada harta duniawi yang bisa goyah, melainkan menaruh kepercayaan kita pada Tuhan yang memelihara.
Mari kita gunakan masa penuh tantangan ini sebagai kesempatan untuk memperdalam iman dan pengandalan kita kepada Tuhan. Berdoalah agar Tuhan memberikan hikmat dalam mengambil keputusan bisnis dan keuangan, serta keberanian untuk tetap setia dan jujur dalam setiap langkah.
Tuhan memanggil kita untuk menjadi garam dan terang, termasuk dalam dunia ekonomi dan bisnis. Dengan mengandalkan Tuhan dan menerapkan prinsip-prinsip Alkitab, kita dapat menjadi berkat dan memberikan dampak positif di tengah ketidakpastian ini.
Tuhan memberkati kita semua untuk tetap kuat, bijak, dan beriman dalam menghadapi segala situasi.
[ENGLISH VERSION]
Facing Uncertainty in the Global Economy and Business: Holding on to God’s Word Amidst Chaos
Shalom, dear brothers and sisters in Christ. We live in challenging times, especially in the global economy and business world. The current situation is increasingly uncertain, especially with the trade wars and economic tariffs imposed by the United States under President Trump, causing the global economic and business order to become chaotic and unstable. Many people feel worried and anxious about their financial future and business opportunities. As believers, how should we respond and act?
The Bible teaches us to remain calm and trust in God, even when the world around us is shaken. Psalm 46:2-3 says, “God is our refuge and strength, an ever-present help in trouble. Therefore we will not fear, though the earth give way and the mountains fall into the heart of the sea.” This verse reminds us that even though the global economic and business conditions are shaking, we still have God as our anchor and refuge.
The story of Joseph in the Book of Genesis also gives us a valuable lesson. When a great famine struck the whole world, Joseph, who had previously been imprisoned, was used by God to manage Egypt’s food supplies and save many lives (Genesis 41). Joseph was able to see the crisis as an opportunity to serve and act wisely. This teaches us the importance of preparedness, planning, and faith when facing economic uncertainty.
From an economic theory perspective, uncertainty and trade wars typically cause disruptions in supply chains, price fluctuations, and investment unpredictability. However, risk management theory teaches that with diversification strategies and careful planning, businesses can survive and even grow during crises. As God’s people, we must combine worldly wisdom with faith and prayer.
In Luke 12:15, Jesus warns, “Watch out! Be on your guard against all kinds of greed; life does not consist in an abundance of possessions.” This verse calls us not to cling too tightly to earthly wealth, which can be unstable, but rather to place our trust in God who provides and sustains.
Let us use these challenging times as an opportunity to deepen our faith and reliance on God. Pray that God grants wisdom in making business and financial decisions, and courage to remain faithful and honest in every step.
God calls us to be salt and light, even in the world of economy and business. By relying on God and applying Biblical principles, we can be a blessing and have a positive impact amid this uncertainty.
May God bless us all to remain strong, wise, and faithful in facing every situation.
Shalom saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Hari ini kita akan merenungkan sebuah peristiwa penting dalam sejarah iman kita, yaitu Kenaikan Tuhan Yesus Kristus ke sorga. Kenaikan ini bukan hanya peristiwa historis yang terjadi lebih dari dua ribu tahun lalu, melainkan membawa makna yang sangat dalam untuk kehidupan dan pelayanan kita hari ini, terutama dalam pekerjaan dan tugas sehari-hari yang Tuhan percayakan kepada kita.
Dalam Kisah Para Rasul 1:9-11, kita membaca bagaimana Yesus naik ke sorga di depan murid-murid-Nya, disaksikan oleh malaikat yang berkata, “Ia akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga.” Kenaikan Yesus menegaskan bahwa Dia telah menyelesaikan pekerjaan penebusan-Nya di dunia dan kini duduk di sebelah kanan Bapa, berkuasa untuk menyertai dan memberkati setiap langkah kita.
Makna kenaikan Kristus dalam pelayanan dan pekerjaan kita sangatlah besar. Pertama, kita diingatkan bahwa pekerjaan kita bukan hanya sekadar rutinitas duniawi, melainkan sebuah pelayanan di hadapan Tuhan. Kolose 3:23 mengingatkan kita, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.” Artinya, dalam setiap pekerjaan, sekecil apapun itu, kita melayani Tuhan secara langsung.
Kedua, kenaikan Yesus memberikan kita kuasa dan pengharapan. Dalam Yohanes 16:7, Yesus berkata bahwa Ia akan mengutus Roh Kudus sebagai Penolong untuk membimbing kita. Roh Kudus adalah kekuatan ilahi yang menopang kita dalam menghadapi tantangan pekerjaan dan pelayanan. Jadi, kita tidak berjalan sendiri, tapi didukung oleh kuasa sorgawi.
Kisah Daud juga mengajarkan kita untuk melayani dengan hati yang penuh percaya kepada Tuhan. Meskipun sebagai raja Daud menghadapi banyak tantangan, ia selalu mengandalkan Tuhan dalam setiap keputusan dan tugasnya (1 Samuel 17; Mazmur 23). Demikian pula kita dipanggil untuk mengandalkan Tuhan dalam pekerjaan kita sehari-hari.
Terakhir, kenaikan Kristus mengingatkan kita akan harapan akan kedatangan-Nya kembali. Ini memotivasi kita untuk hidup setia dan berdampak positif bagi orang lain. Kita dipanggil bukan hanya bekerja untuk dunia ini, tetapi untuk kerajaan Allah yang kekal.
Jadi, mari kita terus memandang ke atas—ke Kristus yang naik ke sorga—sebagai sumber kekuatan dan inspirasi dalam melayani dan bekerja. Jadikan setiap langkah kita sebagai persembahan yang harum bagi Tuhan, karena kita tahu bahwa Dia melihat dan memberkati setiap usaha kita.
Tuhan memberkati pelayanan dan pekerjaan saudara-saudari semua.
[ENGLISH VERSION]
The Meaning of Christ’s Ascension in Our Service and Work
Shalom, dear brothers and sisters in Christ. Today, we reflect on an important event in the history of our faith—the Ascension of our Lord Jesus Christ. This ascension is not just a historical event that happened over two thousand years ago, but it carries deep meaning for our lives and service today, especially in the work and tasks God has entrusted to us daily.
In Acts 1:9-11, we read how Jesus was taken up to heaven before His disciples, witnessed by angels who said, “This same Jesus, who has been taken from you into heaven, will come back in the same way you have seen him go into heaven.” Jesus’ ascension affirms that He has completed His redemptive work on earth and now sits at the right hand of the Father, empowered to accompany and bless every step we take.
The meaning of Christ’s ascension in our service and work is profound. First, we are reminded that our work is not just worldly routine but a form of service before God. Colossians 3:23 reminds us, “Whatever you do, work at it with all your heart, as working for the Lord, not for human masters.” This means that in every task, no matter how small, we are directly serving God.
Second, Jesus’ ascension gives us power and hope. In John 16:7, Jesus said He would send the Holy Spirit as our Helper to guide us. The Holy Spirit is the divine strength that supports us in facing challenges in work and ministry. So, we do not walk alone but are sustained by heavenly power.
The story of David also teaches us to serve with a heart full of trust in God. Although as a king David faced many challenges, he always relied on God in every decision and duty (1 Samuel 17; Psalm 23). Likewise, we are called to depend on God in our daily work.
Finally, Christ’s ascension reminds us of the hope of His return. This motivates us to live faithfully and make a positive impact on others. We are called not only to work for this world but for the eternal kingdom of God.
So let us keep looking up—to Christ who ascended to heaven—as our source of strength and inspiration in serving and working. Let every step we take be a fragrant offering to the Lord, knowing that He sees and blesses every effort we make.
May God bless your service and work.
Shalom saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus. Di dunia yang semakin majemuk ini, kita sering dihadapkan pada berbagai pandangan dan keyakinan agama yang berbeda-beda. Kadang-kadang kita merasa bingung atau bahkan goyah dalam mempertahankan iman kita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami makna kenaikan Tuhan Yesus Kristus dan bagaimana peristiwa ini menjadi pondasi kokoh dalam iman kita, terutama saat berhadapan dengan berbagai pandangan agama lain.
Dalam Kisah Para Rasul 1:9-11, kita membaca bagaimana Yesus naik ke sorga di hadapan murid-murid-Nya dan malaikat berkata, “Ia akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga.” Kenaikan ini menegaskan bahwa Yesus bukan hanya seorang guru atau nabi biasa, melainkan Tuhan yang berkuasa yang telah menyelesaikan karya penebusan dan kini duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Ini adalah kebenaran yang membedakan iman kita dari agama lain.
Alkitab juga mengingatkan kita dalam Yohanes 14:6, di mana Yesus berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Pernyataan ini adalah inti dari iman Kristen yang harus kita pegang teguh di tengah berbagai ajaran dan keyakinan lain yang mencoba menawarkan jalan keselamatan yang berbeda.
Kisah Paulus di Kisah Para Rasul 17:16-34 memberi contoh bagaimana ia dengan penuh hormat dan kebijaksanaan berdialog dengan orang-orang di Athena yang memiliki banyak dewa dan filsafat berbeda. Paulus tidak ragu menyatakan kebenaran Injil dengan tegas, tapi juga menghargai keberagaman budaya dan kepercayaan mereka. Ini mengajarkan kita untuk menjadi saksi Kristus yang bijaksana dan penuh kasih dalam menghadapi perbedaan keyakinan.
Dari sudut pandang psikologi, teori identitas sosial menunjukkan bahwa seseorang cenderung mempertahankan kelompok atau keyakinan yang memberikan rasa aman dan makna. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk menunjukkan bahwa iman kita kepada Kristus yang naik ke surga adalah sumber kekuatan sejati, damai, dan pengharapan yang tidak tergoyahkan.
Mari kita terus memperkuat iman kita dengan berakar dalam Firman Tuhan dan Roh Kudus, sehingga kita bisa berdiri teguh, penuh kasih, dan bijaksana saat berbicara tentang iman kita di tengah dunia yang plural. Kenaikan Kristus mengingatkan kita bahwa Yesus memegang otoritas tertinggi dan akan datang kembali, dan hanya melalui Dia kita memperoleh hidup kekal.
Tuhan memberkati kita semua untuk menjadi saksi yang berani dan penuh kasih di tengah beragam pandangan dan keyakinan.
[ENGLISH VERSION]
The Ascension of Christ: A Firm Faith Amidst Diverse Beliefs
Shalom, dear brothers and sisters in Christ. In this increasingly diverse world, we are often faced with many different religious views and beliefs. Sometimes, we may feel confused or even shaken in holding onto our faith. Therefore, it is important for us to understand the meaning of the Ascension of our Lord Jesus Christ and how this event becomes a solid foundation for our faith, especially when facing different religious perspectives.
In Acts 1:9-11, we read how Jesus ascended into heaven before His disciples, and the angels said, “This same Jesus, who has been taken from you into heaven, will come back in the same way you have seen him go into heaven.” This Ascension confirms that Jesus is not merely a teacher or prophet, but the sovereign Lord who has completed the work of redemption and now sits at the right hand of God the Father. This truth distinguishes our faith from other religions.
The Bible also reminds us in John 14:6, where Jesus said, “I am the way and the truth and the life. No one comes to the Father except through me.” This statement is the core of the Christian faith that we must firmly hold in the midst of various teachings and beliefs that try to offer different paths to salvation.
The story of Paul in Acts 17:16-34 gives us an example of how he respectfully and wisely engaged in dialogue with the people in Athens who had many gods and different philosophies. Paul boldly declared the truth of the Gospel but also honored their diverse cultures and beliefs. This teaches us to be wise and loving witnesses of Christ when facing differing beliefs.
From a psychological perspective, social identity theory shows that people tend to hold onto groups or beliefs that provide a sense of security and meaning. As Christians, we are called to demonstrate that our faith in the ascended Christ is the source of true strength, peace, and unshakable hope.
Let us continue to strengthen our faith by being rooted in God’s Word and the Holy Spirit, so that we can stand firm, loving, and wise when sharing our faith in a pluralistic world. The Ascension of Christ reminds us that Jesus holds the highest authority and will return, and only through Him do we receive eternal life.
May God bless us all to be bold and loving witnesses amidst diverse beliefs and worldviews.
Shalom saudara-saudari terkasih dalam Kristus. Kita semua pasti pernah mengalami jatuh dan berbuat dosa. Kadang, perasaan bersalah dan malu membuat kita merasa jauh dari hadirat Tuhan. Namun, kabar baiknya adalah Roh Kudus hadir bukan hanya saat kita sempurna, tapi bahkan ketika kita jatuh dan berdosa. Roh Kudus adalah Penolong yang setia, yang menguatkan, menghibur, dan menuntun kita kembali kepada jalan yang benar.
Dalam Yohanes 14:16-17, Yesus berjanji, “Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu Penolong lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya: Roh Kebenaran.” Roh Kudus ini terus bekerja di hati kita, membangkitkan kesadaran akan dosa, mengarahkan kita pada pertobatan dan kehidupan yang baru.
Kita bisa melihat contoh dalam kisah Raja Daud, seorang hamba Tuhan yang terjatuh dalam dosa besar, yaitu perzinahan dan pembunuhan (2 Samuel 11). Namun, saat ia jatuh, Roh Kudus tidak meninggalkannya. Daud dengan tulus mengaku dosa dalam Mazmur 51 dan menerima pengampunan dari Tuhan. Roh Kudus menggerakkan hatinya untuk bertobat dan mengubah hidupnya.
Dalam Roma 8:26, Rasul Paulus mengingatkan bahwa “Roh itu membantu kita dalam kelemahan kita, karena kita tidak tahu bagaimana sebenarnya harus berdoa, tetapi Roh sendiri yang memperantarakan permohonan kita kepada Allah dengan keluhan-keluhan yang tidak terucapkan.” Artinya, saat kita merasa lemah, bersalah, atau bingung, Roh Kudus bekerja membantu kita berdialog dengan Tuhan dan menuntun langkah-langkah kita.
Peran Roh Kudus sangat penting agar kita tidak tenggelam dalam keputusasaan ketika jatuh, melainkan bangkit kembali dengan pengharapan dan kekuatan baru. Roh Kudus juga mengingatkan kita bahwa kasih Tuhan tak berkesudahan, dan setiap pertobatan adalah pintu masuk menuju pemulihan.
Mari kita belajar membuka hati kepada Roh Kudus setiap hari, membiarkan-Nya memimpin hidup kita, terutama saat kita merasa gagal. Karena dengan Roh Kudus, kita tidak pernah sendiri, dan selalu ada kesempatan untuk bangkit dan berjalan dalam kasih dan kebenaran Tuhan.
Hari ini kita akan menggali lebih dalam dan sangat penting dalam iman Kristen, yaitu tentang Roh Kudus. Seringkali kita mendengar tentang Roh Kudus, tapi tahukah kita siapa sebenarnya Roh Kudus itu? Apa peran-Nya dalam hidup kita? Dan bagaimana Alkitab secara mendalam menggambarkan pribadi dan karya-Nya? Mari kita bahas bersama dengan hati terbuka dan pikiran yang siap menerima kebenaran.
Pertama-tama, siapa Roh Kudus? Dalam teologi Kristen, Roh Kudus adalah pribadi ketiga dalam Tritunggal Mahakudus—Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Roh Kudus bukanlah kekuatan abstrak atau energi semu, melainkan pribadi yang hidup, memiliki kehendak, perasaan, dan kuasa. Yohanes 14:26 menyebutkan, “Tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang Kukatakan kepadamu.” Di sini jelas Roh Kudus digambarkan sebagai Pengajar dan Pengingat pribadi yang aktif bekerja di dalam kita.
Selanjutnya, apa peran Roh Kudus? Alkitab menunjukkan peran-Nya sangat luas dan vital dalam kehidupan orang percaya. Dia adalah Penghibur yang memberi penghiburan di saat kesedihan dan pergumulan (Yohanes 14:16). Dia juga Pemberi kuasa untuk hidup kudus dan pelayanan (Kisah Para Rasul 1:8). Dalam Roma 8:14, Paulus menegaskan bahwa mereka yang dipimpin Roh Allah adalah anak-anak Allah, yang menunjukkan bahwa Roh Kudus memimpin dan membimbing kehidupan rohani kita. Selain itu, Roh Kudus berperan sebagai Penolong dalam doa, memperantarakan permohonan kita kepada Allah ketika kita sendiri tidak tahu harus berdoa apa (Roma 8:26).
Kita juga bisa melihat bagaimana Roh Kudus bekerja dalam sejarah keselamatan. Misalnya, Roh Kudus turun atas Maria sehingga Dia mengandung Yesus (Lukas 1:35), dan Roh Kudus juga memenuhi para rasul pada hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2), yang menjadi momen lahirnya gereja dan kuasa pelayanan Injil ke seluruh dunia.
Dari sudut pandang teologis, Roh Kudus adalah penghubung pribadi antara Allah dan manusia. Dia menguduskan, mengubahkan hati yang keras menjadi lembut, dan memungkinkan kita mengalami hubungan intim dengan Allah (2 Korintus 3:18). Melalui Roh Kudus, kita dipersatukan dengan Kristus dan mengalami buah-buah Roh seperti kasih, sukacita, damai sejahtera, dan lain-lain (Galatia 5:22-23).
Penting bagi kita menyadari bahwa pengalaman dengan Roh Kudus bukan hanya fenomena emosional atau pengalaman spiritual sesaat, tapi sebuah perjalanan hidup yang terus-menerus diwarnai oleh bimbingan, kuasa, dan kehadiran-Nya yang nyata. Roh Kudus memanggil kita untuk hidup dalam ketaatan dan kesetiaan, serta untuk menjadi saksi Kristus yang efektif di dunia.
Mari kita berdoa agar kita selalu terbuka dan sensitif terhadap suara Roh Kudus, sehingga Dia dapat bekerja dengan penuh kuasa dalam setiap aspek hidup kita. Karena pada akhirnya, Roh Kudus adalah Pribadi ilahi yang menghidupkan, menguatkan, dan menuntun kita untuk hidup sesuai dengan kehendak Allah.
Tuhan memberkati perjalanan iman kita semua dalam dipenuhi Roh Kudus!
[ENGLISH VERSION]
The Holy Spirit: Our Faithful Helper When We Fall
Shalom, dear brothers and sisters in Christ. We all have experienced falling and sinning. Sometimes, feelings of guilt and shame make us feel far from God’s presence. But the good news is that the Holy Spirit is present not only when we are perfect but even when we fall and sin. The Holy Spirit is our faithful Helper who strengthens, comforts, and guides us back to the right path.
In John 14:16-17, Jesus promises, “I will ask the Father, and He will give you another Helper to be with you forever—the Spirit of truth.” This Holy Spirit continuously works in our hearts, awakening our awareness of sin, directing us toward repentance and new life.
We can see an example in the story of King David, a servant of God who fell into great sin—adultery and murder (2 Samuel 11). Yet when he fell, the Holy Spirit did not abandon him. David sincerely confessed his sin in Psalm 51 and received God’s forgiveness. The Holy Spirit moved his heart to repent and change his life.
In Romans 8:26, Paul reminds us that “the Spirit helps us in our weakness. We do not know what we ought to pray for, but the Spirit himself intercedes for us through wordless groans.” This means that when we feel weak, guilty, or confused, the Holy Spirit helps us to communicate with God and guides our steps.
The role of the Holy Spirit is vital so that we do not drown in despair when we fall but rise again with new hope and strength. The Holy Spirit also reminds us that God’s love is endless, and every repentance is a gateway to restoration.
Let us learn to open our hearts to the Holy Spirit every day, allowing Him to lead our lives, especially when we feel like we have failed. Because with the Holy Spirit, we are never alone, and there is always a chance to rise and walk in God’s love and truth.
Today, we will delve deeper into a very important topic in the Christian faith, namely the Holy Spirit. We often hear about the Holy Spirit, but do we really know who the Holy Spirit truly is? What is His role in our lives? And how does the Bible deeply describe His person and work? Let us explore this together with open hearts and minds ready to receive the truth.
First of all, who is the Holy Spirit? In Christian theology, the Holy Spirit is the third person of the Holy Trinity—Father, Son, and Holy Spirit. The Holy Spirit is not an abstract force or vague energy, but a living person who has will, feelings, and power. John 14:26 says, “But the Advocate, the Holy Spirit, whom the Father will send in my name, will teach you all things and will remind you of everything I have said to you.” Here, the Holy Spirit is clearly described as a personal Teacher and Reminder actively working within us.
Next, what is the role of the Holy Spirit? The Bible shows His role as very broad and vital in the life of believers. He is the Comforter who gives consolation in times of sorrow and struggle (John 14:16). He is also the Giver of power for holy living and ministry (Acts 1:8). In Romans 8:14, Paul emphasizes that those who are led by the Spirit of God are children of God, showing that the Holy Spirit leads and guides our spiritual lives. Additionally, the Holy Spirit acts as our Helper in prayer, interceding for us before God when we do not know what to pray for (Romans 8:26).
We can also see how the Holy Spirit worked in the history of salvation. For example, the Holy Spirit came upon Mary so that she conceived Jesus (Luke 1:35), and the Holy Spirit filled the apostles on the day of Pentecost (Acts 2), marking the birth of the Church and the power for Gospel ministry throughout the world.
From a theological perspective, the Holy Spirit is the personal link between God and humanity. He sanctifies, transforms a hard heart into a soft one, and enables us to experience an intimate relationship with God (2 Corinthians 3:18). Through the Holy Spirit, we are united with Christ and bear the fruits of the Spirit such as love, joy, peace, and more (Galatians 5:22-23).
It is important for us to realize that the experience with the Holy Spirit is not merely an emotional phenomenon or a momentary spiritual experience, but a lifelong journey continuously marked by His guidance, power, and real presence. The Holy Spirit calls us to live in obedience and faithfulness, and to be effective witnesses of Christ in the world.
Let us pray that we will always be open and sensitive to the voice of the Holy Spirit, so that He can work powerfully in every aspect of our lives. Because ultimately, the Holy Spirit is the divine Person who gives life, strengthens, and leads us to live according to God’s will.
May God bless our faith journey as we are filled with the Holy Spirit!